Monday, July 16, 2012

Mat Kodak Sejak Jaman Soekarno



Senin, 09 Juli 2012 , 14:21:00
  Mat Kodak Sejak Jaman Soekarno
Oleh A. Halim R
 
PAK APEH, begitu saya memanggilnya. Beliau lebih tua dari saya.   Ketika saya menjadi wartawan aktif mulai tahun 1974 di Harian AKCAYA (kini: PONTIANAK POST) kami sudah berkawan. Siapakah wartawan tua dan senior atau pun fotografer senior yang tak kenal Marius Apeh? Pukul rata kenal. Bagi koran-koran yang jumlahnya cukup banyak pada tahun 1960-an hingga awal 1970, Pak Apeh penyuplai foto. Namun  belum banyak yang memanfaatkannya, sebab foto barang langka di koran masa itu. Percetakan saja masih menggunakan mesin intertif untuk membuat berita, hurufnya dari timah. Foto, mesti kirim ke Jakarta untuk bikin cetakannya yang juga dari timah. Kuno dan antik bangat peralatannya.

   Baru pada tahun 1973 atas prakarsa Gubernur Kadarusno dibeli mesin cetak offset pertama di Kalbar, merek Hidelberg untuk Percetakan Daerah Mandau Dharma. Di situ sudah digunakan film, yang bisa memuat foto seberapa suka. Berwarna juga bisa. Harian AKCAYA dan beberapa koran lain sama memanfaatkan mesin cetak tersebut.   Akan halnya Pak Apeh di mata saya seorang fotografer profesional. Saya kira, ia hidup dari membuka studio foto, praktiknya: ketika memotret masih berselubung kain hitam! 

   Alhasil, peralatan dan perbendaharaan Pak Apeh dalam bidang fotografi: mulai dari yang kuno (manual) hingga yang mutakhir: digital dan mahal.       Pejabat-pejabat penting di daerah ini pasti tahu dan kenal baik dengan beliau, karena sering mendapat foto-foto bagus dalam momen dan event-event tertentu yang penting.  
   Dalam kehidupan Harian AKCAYA hingga menjadi Harian PONTIANAK POST, Pak Apeh selalu damping. Menyuplai foto-foto bagus: tak bayar! Honor dan gaji tidak dipeduli. Di BOKS REDAKSI, Pak Apeh tercantum sebagai: Fotografer. Seperti juga  Bapak Profesor Mahmud Akil SH (alm), pernah tercantum sebagai Penasihat Hukum. Perilaku keduanya sama: baik, pemurah dan penolong. Tak bayar!   

   Saya pikir, seorang fotografer yang menyimpan peristiwa dan foto-foto kota Pontianak dari masa lampau yang terlengkap adalah Pak Apeh. Dokumentasinya terpelihara baik. Dan ia siap menolong siapa pun yang memerlukan.      Dari sejumlah hasil dokumentasinya saya melihat: foto Bung Karno naik mobil ketika berkunjung ke Kalbar. Hah, tahun berapa itu! Saya masih jadi budak kecik!

   Dari muda sampai tua, saya melihat, Pak Apeh manusia perfeksionis dalam segala hal. Busananya senantiasa rapi. Bergaul dengan siapa saja: lintas suku, etnik, agama maupun bangsa. Bicaranya lembut, wajah tak pernah cemberut. Dia sahabat yang baik, pun guru yang baik (terutama dalam hal fotografi).   Dalam segenap kemampuan moral dan material yang dimilikinya: ia tak pernah sombong! Apalagi mencela dan menggunjing orang lain. 

   Dan ketika Harian AKCAYA PONTIANAK POST (APPost) akan menelurkan sebuah koran Mandarin – di mana saya ikut dalam rapat pimpinan – saya mengusulnya nama KUNTIAN, sebab saya tahu orang Tionghoa menyebut PONTIANAK itu KUNTIAN. Alhasil KUNTIAN (Bhs Tionghoa lokal Kalbar) dimandarinkan menjadi KUNDIAN RI BAO. Maknanya sama saja, tak lain: KORAN PONTIANAK.

   Di awal hidup Kundian Ri Bao, Pak Apeh sebagai Pimred. Dan hingga akhir hayatnya pun Pak Apeh tetap mendampingi.      Sebuah perjalanan panjang anak manusia dari etnik Tionghoa – Marius Apeh – sudah  selesai di dunia Minggu 8 Juli 2012. Banyak sekali peristiwa di Indonesia, terutama Kalimantan Barat yang ia saksikan. Yang besar-besar saja, seperti zaman Dwikora, penumpasan PGRS/Paraku, pengungsian etnik Tionghoa dari pedalaman ke Pontianak, barak-barak penampungan seadanya bagi para pengungsi itu di Siantan dan banyak lagi.

   Seperti juga hal yang saya rasakan, tatkala mengalami semua masa itu, sakit, sulit, terjepit, menderita, duka berbaur dalam sedikit ria. Hingga apa yang terjadi sampai akhir ini, saya, dia dan pembaca melihat berbagai hal di negeri ini. Kita saksi sejarah dalam sepenggal usia, untuk kemudian penggalan lainnya disaksikan dan dirasakan oleh mereka yang masih hidup maupun generasi berikutnya. Suratkabar mencatat banyak peristiwa setiap hari, menjadi dokumen sejarah yang tak terbantah. Saya dan Pak Apeh pernah terlibat aktif di dalamnya. Dan kini pekerjaan Pak Apeh di dunia telah selesai tatkala Sang Khalik (Sang Maha Pencipta sekalian makhluk) memanggilnya. Selamat jalan Sahabat, kami mendoakanmu……*      

No comments:

Post a Comment